08.00 - 16.00
Senin - Jumat
Selamat datang kembali di pembangunan benteng kita, Ayah Bunda!
Di bagian pertama, kita telah meletakkan tiga fondasi yang paling esensial: cinta tanpa syarat, rumah sebagai zona aman, dan peran kita sebagai cermin yang positif. Fondasi ini ibarat tanah kokoh yang kita siapkan. Sekarang, saatnya kita membangun dinding dan menaranya. Kita akan menggunakan "batu bata" dan "semen" praktis yang bisa kita terapkan dalam percakapan dan kebiasaan sehari-hari.
Inilah jurus-jurus praktis untuk merawat hati anak kita agar tumbuh kokoh, tidak mudah goyah oleh bisikan 'monster' insecure.
Kata-kata yang kita ucapkan setiap hari adalah batu bata yang menyusun persepsi anak tentang dirinya. Mari pilih bata yang paling kokoh.
Ini adalah perubahan kecil dengan dampak raksasa. Alih-alih berkata, "Kamu pintar sekali dapat nilai 100," coba katakan, "Masya Allah, kamu gigih sekali belajarnya sampai bisa dapat hasil sebagus ini." Pujian pada usaha mengajarkan anak bahwa ia punya kendali atas prosesnya, sementara pujian pada "bakat" atau "kepintaran" bisa membuatnya takut gagal dan takut tidak terlihat pintar lagi.
Kalimat "Gambarmu bagus, tapi warnanya keluar garis," secara tidak sadar menganulir pujian di awal. Coba ganti polanya: "Bunda suka sekali gambar istananya, dan lain kali kita bisa coba lebih hati-hati ya mewarnainya." Kalimat kedua terasa seperti dukungan, bukan kritik terselubung.
Saat anak berkata, "Aku bodoh, aku nggak bisa," bantu ia membingkai ulang kalimat itu. "Bukan bodoh, Nak. Kamu belum bisa. Yuk, kita bilang sama diri sendiri, 'Aku mungkin belum bisa sekarang, tapi aku akan terus coba sampai bisa'." Ini adalah latihan positive self-talk yang akan menjadi senjata andalannya seumur hidup.
Kata-kata memang penting, tapi pengalaman keberhasilan adalah semen yang merekatkan semua batu bata itu. Percaya diri tumbuh dari pembuktian, bukan hanya dari pujian.
Seperti yang kita bahas di seri kemandirian, anak yang diberi kepercayaan untuk melakukan tugas (memberi makan ikan, merapikan sepatu, dll) akan merasa dirinya mampu dan berharga. Setiap tugas yang tuntas adalah satu bata kepercayaan diri yang ia letakkan sendiri.
Ciptakan lingkungan yang aman untuk mencoba. "Mau ikut Ayah coba masak telur? Nanti kita kerjakan sama-sama." Atau "Ada ekskul baru di sekolah, mau coba ikut? Nggak harus jadi juara, yang penting seru-seruan." Tujuannya adalah menumbuhkan keberanian untuk mencoba, bukan tuntutan untuk berhasil.
"Hari ini mau pakai jilbab warna pink atau biru?" "Mau sarapan roti atau sereal?" Memberikan mereka kendali atas keputusan-keputusan kecil dalam hidupnya akan membangun rasa berdaya (sense of agency) dan mengurangi perasaan tidak berdaya yang menjadi makanan bagi rasa insecure.
Ini adalah jurus pamungkas yang sering terlupakan. Salah satu cara terbaik untuk berhenti merasa rendah diri adalah dengan berhenti terus-menerus memikirkan diri sendiri.
Lalu, bagaimana jika monster itu tetap datang dan anak kita sedang berada di puncak rasa kecewa atau insecure-nya? Lakukan Pertolongan Pertama Pada Kepercayaan Diri:
Membangun benteng di dalam hati anak bukanlah proyek yang selesai dalam semalam. Akan ada hari di mana dindingnya retak, akan ada hari di mana monster itu berhasil menyelinap masuk. Tugas kita adalah untuk terus sabar memperbaiki, menguatkan, dan menyemennya kembali dengan cinta dan kepercayaan.
Tujuan kita bukanlah membesarkan generasi yang arogan dan sombong, melainkan generasi yang tenang dan damai dengan dirinya sendiri. Generasi yang langkahnya tegap bukan karena merasa lebih baik dari orang lain, tapi karena ia tahu persis nilainya di hadapan Sang Pencipta. Dan dari ketenangan itulah, akan lahir karya-karya terbaiknya bagi dunia.
Mengembangkan Kecerdasan Anak Menuju Generasi Qur’ani Yang Berakhlak Mulia Dan Berwawasan Global Untuk Memenuhi Peran Mereka Sebagai Khalifah Di Muka Bumi.
> Read More