Membantu Anak Melawan 'Monster' Insecure (Bagian 1)

img

Coba perhatikan momen-momen hening di rumah kita. Saat si kecil berulang kali menghapus gambarannya karena merasa "jelek". Saat ia berdiri di pinggir lapangan, ragu untuk ikut bermain karena takut "tidak jago". Atau saat ia terus bertanya, "Bunda, penampilanku bagus, kan?" seolah butuh stempel persetujuan untuk setiap hal kecil.

Itu bukanlah sekadar sifat pemalu. Itu adalah bisikan-bisikan dari 'monster' yang tak terlihat namun sangat nyata: rasa insecure.

Rasa tidak aman ini adalah salah satu beban terberat yang bisa dibawa seorang anak. Ia adalah pencuri kebahagiaan, pembunuh keberanian, dan penghalang potensi. Sebagai orang tua, tugas kita bukan hanya memberinya makan dan menyekolahkannya. Tugas kita yang lebih agung adalah membantunya membangun sebuah benteng yang kokoh di dalam hatinya, agar bisikan monster itu tak mampu meruntuhkannya.

 

Mengintip ke Sarang Sang Monster: Dari Mana Datangnya Rasa Insecure?

Untuk bisa melawan musuh, kita perlu kenal siapa dia. Rasa insecure tidak datang tiba-tiba. Ia tumbuh subur dari beberapa "tanah" yang tanpa sadar sering kita sediakan:

  • Tanah Perbandingan: "Lihat tuh, sepupumu ranking satu." "Kakakmu dulu lebih cepat bisa naik sepeda." Di zaman media sosial, perbandingan ini semakin menjadi-jadi. Anak melihat kehidupan teman-temannya yang tampak sempurna, lalu membandingkannya dengan dirinya yang penuh kekurangan.
  • Hujan Kritik: Niat kita mungkin baik, yaitu ingin anak menjadi lebih baik. Tapi kritik yang terus-menerus, fokus pada kesalahan, dan minim apresiasi akan mengirim pesan: "Kamu selalu salah. Kamu tidak cukup baik."
  • Bayang-Bayang Ekspektasi Tak Realistis: Tekanan untuk selalu menjadi juara, selalu sempurna, selalu membanggakan. Ketika gagal, anak tidak hanya merasa kecewa, tapi juga merasa dirinya adalah sebuah kegagalan.

Inti dari semua ini adalah satu hal: anak mulai mengukur nilai dirinya dari pencapaian, perbandingan, dan penilaian orang lain. Padahal, Islam mengajarkan kita sebuah kebenaran yang membebaskan. Allah SWT berfirman dalam Surah At-Tin ayat 4:

“Laqad khalaqnal-insāna fī aḥsani taqwīm.” "Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya."

Inilah pondasi utama yang harus kita tanamkan: Nilai dirimu tidak terletak pada piala atau pujian. Nilaimu sudah mutlak dan sempurna sejak awal karena kamu adalah ciptaan terbaik dari Allah.

 

Peran Kita Sebagai Arsitek Benteng: 3 Fondasi Anti-Insecure

Jika rasa insecure adalah monster, maka kita adalah arsitek benteng pertahanannya. Sebelum membangun dinding dan menara, kita perlu meletakkan fondasi yang paling kuat.

Fondasi #1: Cinta Tanpa Syarat 

Ini adalah beton paling kokoh. Anak harus tahu dan merasa bahwa cinta kita padanya tidak bergantung pada apa pun. Bukan karena ia ranking satu, bukan karena ia anak penurut, bukan karena ia jago olahraga. Cinta kita ada untuknya, titik. Hindari kalimat seperti, "Bunda makin sayang deh kalau kamu juara kelas." Ganti dengan, "Apapun hasilnya, menang atau kalah, Bunda dan Ayah akan selalu sayang dan bangga dengan usahamu."

Fondasi #2: Rumah Sebagai "Zona Aman dari Penilaian" 

Dunia di luar sana sudah cukup keras. Sekolah, teman-teman, media sosial—semua penuh dengan penilaian. Maka, pastikan rumah adalah surga kecilnya. Tempat di mana ia bisa menjadi dirinya sendiri, bisa gagal tanpa dihakimi, bisa menangis tanpa disebut cengeng, dan bisa bercerita tanpa takut disalahkan. Rumah harus menjadi tempat ia mengisi ulang 'baterai' percaya dirinya, bukan tempat yang justru mengurasnya.

Fondasi #3: Menjadi Cermin yang Memantulkan Cahaya 

Anak melihat dirinya melalui mata kita. Jika kita adalah cermin yang hanya fokus pada noda dan goresan, maka itulah yang akan ia lihat pada dirinya. Jadilah cermin yang memantulkan cahayanya. Perhatikan hal-hal baik yang seringkali luput dari perhatian. "Masya Allah, terima kasih ya tadi sudah mau berbagi mainan sama adik." "Bunda perhatikan, kamu sabar sekali mengerjakan PR yang sulit itu. Hebat!" Saat kita secara konsisten menunjukkan kebaikan dalam dirinya, ia pun akan mulai melihat kebaikan itu sendiri.

Membangun tiga fondasi ini memang tidak instan. Ini adalah pekerjaan harian, tetes demi tetes, bata demi bata. Namun, inilah investasi terpenting untuk kesehatan mental dan kebahagiaan anak kita di masa depan.

(Bersambung)

Di artikel selanjutnya, kita akan membahas 'batu bata' dan 'semen' yang lebih praktis: kata-kata spesifik, aktivitas, dan kebiasaan sehari-hari untuk membangun 'benteng hati' anak kita agar kokoh dan tahan guncangan. Sampai jumpa di Bagian 2!