Mencetak Ksatria Pemberani, Bukan Korban yang Diam - Panduan Mengajarkan Anak Melawan Bullying

img

Hati orang tua mana yang tidak hancur membayangkan anaknya pulang sekolah dengan langkah gontai, duduk menyendiri di pojok kamar, dan menyimpan kesedihan yang tak terucap? Gambaran ini adalah mimpi buruk kita semua. Saat tahu anak kita menjadi sasaran perundungan atau bullying, insting pertama kita mungkin ada dua: marah besar dan ingin melabrak si pelaku, atau justru menyuruh anak untuk "sabar saja" dan "diamkan saja".

Keduanya lahir dari rasa cinta, namun keduanya seringkali tidak cukup. Ada jalan ketiga yang lebih memberdayakan. Jalan yang tidak membentuk anak kita menjadi korban yang pasrah, juga bukan menjadi perundung baru yang agresif.

Jalan itu adalah membekali mereka untuk menjadi ksatria pemberani. Ksatria yang punya perisai di hati, keberanian dalam suara, dan kebijaksanaan dalam bertindak.

 

Ini Bukan Sekadar “Lawan Balik”

Saat kita bicara "melawan bullying", pikiran kita mungkin langsung tertuju pada perlawanan fisik. Padahal, perlawanan yang sesungguhnya dimulai jauh sebelum itu. Fondasinya adalah membangun ‘Izzah—rasa hormat dan kemuliaan diri yang datang dari kesadaran bahwa ia adalah hamba Allah yang berharga.

Anak yang punya ‘izzah tidak akan mudah hancur oleh ejekan. Ia tahu nilainya tidak ditentukan oleh cemoohan temannya. Ia paham bahwa dalam Islam, kita diajarkan untuk tidak menzalimi (zalim) dan tidak pula dizalimi (mazlum). Inilah pola pikir yang harus kita tanamkan pertama kali: Kamu berharga, dan tidak ada yang berhak merendahkanmu.

 

Arsenal Sang Ksatria: "Senjata" Apa yang Perlu Kita Berikan?

Membekali mereka berarti memberi mereka "alat" atau "senjata" yang tepat untuk menghadapi situasi sulit. "Senjata" ini bukanlah untuk menyakiti, melainkan untuk melindungi diri.

1. Perisai Percaya Diri. 

Ini adalah pertahanan pertama dan terkuat. Perisai ini tidak dibeli di toko, tapi ditempa setiap hari di rumah. Setiap kali kita memuji usahanya (bukan hanya hasilnya), setiap kali kita mendengarkan ceritanya tanpa menghakimi, setiap kali kita memeluknya dan berkata "Bunda/Ayah sayang kamu apa adanya", kita sedang menebalkan perisai itu lapis demi lapis. Rumah adalah pabrik perisai terbaik.

2. Kekuatan Suara yang Tegas. 

Ajari anak bahwa suaranya punya kekuatan. Latih mereka di rumah dengan skenario main peran (role-play). Berikan mereka "mantra" singkat, tegas, dan jelas untuk diucapkan dengan postur tegap dan tatapan lurus (bukan menantang, tapi percaya diri).

"Hentikan."

"Aku tidak suka caramu bicara padaku."

"Candaanmu tidak lucu."

"Jangan sentuh barangku." Ucapkan tanpa berteriak, tanpa menangis. Cukup tegas dan tenang. Ini menunjukkan kendali, bukan ketakutan.

3. Jurus Menghindar yang Cerdas. 

Ajari anak bahwa pergi meninggalkan situasi yang buruk adalah tanda kekuatan, bukan kelemahan. Itu adalah pilihan cerdas untuk tidak memberi panggung bagi si perundung. Katakan padanya, "Kamu terlalu berharga untuk meladeni orang yang ingin menyakitimu. Pergi dari situ berarti kamu yang menang, karena kamu yang pegang kendali."

4. Pasukan Cadangan yang Tepercaya. 

Seorang ksatria tidak pernah berperang sendirian. "Pasukan cadangan" adalah orang-orang dewasa yang ia percaya. Tekankan berulang kali: "Melapor bukanlah mengadu. Melapor adalah tindakan cerdas untuk mencari bantuan." Pastikan ia tahu siapa saja yang bisa ia datangi: teman dekat, guru, dan yang terutama adalah KITA, orang tuanya. Ciptakan suasana di rumah di mana ia tidak pernah takut untuk bercerita, tanpa akan kita salahkan balik dengan pertanyaan seperti, "Makanya, kamu jangan..."

5. Menjadi Pembela untuk Sesama. 

Ini adalah level tertinggi dari seorang ksatria: bukan hanya melindungi diri sendiri, tapi juga melindungi yang lain. Ajari ia untuk tidak menjadi penonton (bystander) saat temannya dirundung. Ia tidak harus jadi pahlawan super. Tindakan kecil sudah sangat berarti:

  • Mendatangi teman yang sedang diejek dan mengajaknya pergi.
  • Menemani teman yang takut untuk melapor ke guru.
  • Setelah kejadian, cukup bertanya pada korban, "Kamu tidak apa-apa?"

 

Peran Kita di Balik Layar

Saat anak kita berjuang di "medan perang"-nya, kita adalah tim pendukung utamanya. Tugas kita adalah mendengarkan dengan sabar, memvalidasi perasaannya ("Pasti sakit hati ya digituin"), dan bekerja sama dengan pihak sekolah sebagai mitra untuk mencari solusi, bukan sebagai musuh.

Membesarkan anak di zaman sekarang memang penuh tantangan. Tapi dengan membekali mereka, kita tidak sedang menciptakan generasi yang rapuh. Kita sedang menempa generasi Rabbani yang kuat hatinya, berani menyuarakan kebenaran, dan punya empati untuk membela yang lemah. Generasi para ksatria pemberani.