Sabar dan Pemaaf, Dua Kekuatan Super yang Perlu Dilatih Sejak Dini

img

"Bunda, kok belum sampai?" Lima menit kemudian, "Ayah, masih lama nggak?" Di lain hari, segelas susu tumpah ke lantai, atau mainan kesayangan patah saat dipinjam sang adik. Tarik napas... hembuskan. Pemandangan yang sangat kita kenal, bukan?

Dalam momen-momen kecil itulah, dua sifat agung diuji yaitu Sabar dan Pemaaf. Seringkali, kita menasihati anak untuk "sabar ya, Nak" atau "maafkan saja temanmu", seolah itu adalah hal yang mudah. Padahal, bagi seorang anak (dan bahkan bagi kita orang dewasa), sabar dan memaafkan adalah pekerjaan hati yang luar biasa berat.

Tapi bagaimana jika kita berhenti melihatnya sebagai beban, dan mulai melihatnya sebagai dua kekuatan super? Kekuatan yang jika dilatih sejak dini, akan menjadi perisai dan kompas bagi anak kita seumur hidupnya.

 

Sabar, Seni Menunggu dengan Tenang

Sabar bukan berarti diam pasrah. Sabar adalah ketangguhan. Ia adalah kemampuan untuk tetap tenang saat keadaan tidak sesuai keinginan, dan tetap berusaha saat hasil tak kunjung datang. Bagi seorang anak, melatih otot sabar berarti:

  • Ia tidak mudah menyerah. Saat kesulitan merangkai lego atau belajar sepeda, ia tidak langsung melemparnya sambil menangis. Ia mencoba lagi, dan lagi.
  • Ia bisa mengelola emosi. Saat keinginannya tidak bisa langsung dipenuhi, ia belajar menahan diri, bukan meledak dalam amarah.
  • Ia menghargai proses. Ia paham bahwa hal-hal baik membutuhkan waktu, entah itu menunggu giliran bermain ayunan atau menunggu tanaman yang ia siram setiap hari tumbuh besar.

Allah SWT pun berjanji dalam firman-Nya, "Innallaha ma'as-sabirin"—Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar. Bayangkan, dengan bersabar, kita sedang mengundang Allah untuk menjadi "tim" kita secara langsung. Kekuatan super mana lagi yang lebih dahsyat dari ini?

 

Pemaaf, Seni Melepas Beban di Hati

Ini adalah salah satu konsep yang paling sering disalahpahami. Memaafkan bukan berarti kita berkata, "Perbuatanmu tidak salah." Memaafkan juga bukan untuk kepentingan orang yang menyakiti kita. Memaafkan adalah hadiah untuk diri kita sendiri.

Ajarkan pada anak bahwa menyimpan dendam atau amarah itu seperti menggenggam bara api panas: yang paling terluka adalah tangan kita sendiri. Dengan memaafkan, kita sedang memilih untuk meletakkan bara api itu. Kita memilih untuk membebaskan hati kita dari beban kebencian.

Saat temannya tidak sengaja merusak gambarnya, atau kakaknya melontarkan ejekan, memaafkan adalah cara ia merebut kembali kebahagiaannya. Ia tidak membiarkan kesalahan orang lain merusak sisa harinya. Bukankah Allah sendiri Maha Pemaaf (Al-Ghafur)? Contoh terhebat adalah saat Rasulullah SAW memaafkan seluruh penduduk Mekkah yang dulu memusuhi beliau. Itulah puncak kekuatan, bukan kelemahan.

 

Laboratorium Hati di Rumah Kita

Kekuatan super ini tidak turun dari langit. Ia perlu dilatih di "gym" terbaik di dunia: rumah kita sendiri. Kitalah pelatihnya.

  • Jadilah Cermin yang Mereka Lihat. 

Saat kita menumpahkan kopi, apa reaksi kita? Apakah menggerutu dan marah-marah, atau beristighfar dan berkata, "Yah, tumpah. Ayo kita bersihkan." Saat anak berbuat salah dan meminta maaf, apakah kita menjawab, "Iya, Bunda maafkan," dengan tulus? Cermin tidak pernah berbohong.

  • Akui Bahwa Menunggu Itu Sulit. 

Validasi perasaan mereka. "Bunda tahu, menunggu giliran itu membosankan, ya. Terima kasih ya sudah sabar,". Ini membuat anak merasa dipahami, bukan dihakimi.

  • Gunakan Kisah sebagai Guru. 

Ceritakan kisah Nabi Ayub AS dengan kesabarannya, atau Nabi Yusuf AS yang memaafkan saudara-saudaranya. Kisah-kisah ini adalah suplemen terbaik untuk menutrisi jiwa mereka.

  • Ciptakan "Jeda untuk Tenang". 

Saat emosi anak memuncak, ajak ia untuk mengambil jeda. Bukan "pojok hukuman", tapi "pojok tenang". "Yuk, kita minum dulu, tarik napas tiga kali, baru nanti kita bicara lagi ya." Ajari mereka menekan tombol pause pada amarahnya.

  • Apresiasi Momen Memaafkan. 

Saat anak berhasil memaafkan temannya, berikan apresiasi. "Masya Allah, hebat sekali hati anak Ayah, mau memaafkan. Ayah bangga!" Ini memperkuat perilaku positif dan menunjukkan bahwa memaafkan adalah tindakan yang mulia.

Pada akhirnya, mendidik anak untuk sabar dan pemaaf bukanlah untuk mencetak generasi yang lembek dan pasrah. Justru sebaliknya. Kita sedang mempersiapkan generasi yang jiwanya kuat, hatinya ringan, dan hidupnya tidak disandera oleh amarah dan kekecewaan. Generasi yang siap terbang tinggi karena tidak membawa beban yang tidak perlu di pundak mereka.