08.00 - 16.00
Senin - Jumat
Pintu kamar dibanting. Terdengar isak tangis dari dalam karena rebutan krayon dengan sang kakak. Di ruang keluarga, si kakak juga cemberut karena merasa mainannya direbut. Pemandangan yang akrab, bukan? Sebagai orang tua, kita sering merasa pusing, lelah, dan bertanya-tanya, “Harus bagaimana lagi, ya?”
Di tengah kesibukan kita memastikan mereka pintar di sekolah, hafalannya lancar, dan nilainya bagus, seringkali kita lupa pada sebuah "kurikulum" tak tertulis yang justru paling menentukan masa depan mereka yakni kurikulum hati. Inilah yang kita sebut kecerdasan emosi dan empati.
Ini bukan sekadar tentang menjadi anak yang "manis" atau "tidak cengeng". Ini adalah tentang membekali mereka dengan harta karun paling berharga yang akan mereka bawa seumur hidup.
Setiap anak punya "cuaca" di dalam hatinya. Kadang cerah ceria, kadang mendung dan muram, bahkan sesekali ada badai amarah. Tugas pertama kita sebagai orang tua dan pendidik bukanlah menghentikan badai itu, melainkan mengajarinya menjadi seorang nahkoda yang andal bagi kapalnya sendiri.
Seorang anak yang mulai paham "cuaca hatinya" akan tumbuh menjadi pribadi yang berbeda. Ketika kecewa karena kalah bertanding, ia tidak lantas mogok main selamanya. Ia mungkin akan sedih sejenak, tapi ia tahu rasa kecewa itu akan berlalu. Ketika marah, ia belajar bahwa ada cara lain untuk menyampaikannya selain dengan berteriak atau melempar barang.
Ia menjadi lebih tenang, lebih fokus, dan—yang terpenting—lebih damai dengan dirinya sendiri.
Agama kita pun mengajarkan hal yang sama dengan begitu indah. Rasulullah SAW tidak mengatakan orang kuat itu yang badannya kekar, tapi Beliau bersabda:
"Orang yang kuat adalah dia yang mampu mengendalikan dirinya saat marah." (HR. Bukhari & Muslim)
Kekuatan sejati itu letaknya di dalam, di kemampuan untuk berdialog dengan gejolak di hati.
Setelah anak mulai bisa melihat ke dalam dirinya, saatnya kita bantu ia membuka jendela untuk melihat keluar. Inilah yang disebut empati. Kemampuan sederhana untuk bertanya, "Kalau aku jadi dia, apa ya yang aku rasakan?"
Empati adalah penangkal paling ampuh untuk bibit-bibit perundungan (bullying), egoisme, dan ketidakpedulian. Anak yang punya empati tidak akan mudah mengejek temannya yang memakai sepatu usang, karena ia bisa membayangkan rasa malu temannya. Ia akan menjadi orang pertama yang menawarkan bahunya saat melihat sahabatnya menangis.
Empati inilah ruh dari ukhuwah, persaudaraan yang diajarkan Islam. Puncak dari empati digambarkan begitu cantik dalam sabda Rasulullah SAW:
"Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal kasih sayang... adalah seperti satu tubuh. Apabila salah satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut merasakan sakit..." (HR. Muslim)
Betapa indahnya jika anak-anak kita tumbuh dengan hati yang terhubung seperti ini.
Membekali anak dengan dua harta ini adalah sebuah seni, sebuah proses yang butuh kesabaran dan cinta. Ini bukan sprint, tapi maraton. Berikut beberapa hal sederhana yang bisa kita mulai:
Cara kita merespons macet di jalan, cara kita berbicara dengan asisten rumah tangga, cara kita menenangkan diri saat lelah—semua itu direkam oleh anak. Jadilah cerminan yang ingin kita lihat pada diri mereka.
Saat mereka marah atau menangis, peluk dan katakan, "Ayah/Bunda ngerti kamu lagi kesal sekali, ya." Dengan mengakui perasaan mereka, kita tidak sedang memanjakan. Kita sedang memberitahu mereka: "Perasaanmu itu nyata, penting, dan tidak apa-apa merasakannya."
Bantu mereka menamai apa yang bergejolak di dalam. "Oh, ini namanya kecewa." "Yang kamu rasakan ini namanya frustrasi, ya?" Ketika ada namanya, perasaan yang abstrak itu menjadi lebih mudah dipahami dan dikendalikan.
Dongeng sebelum tidur atau film keluarga adalah "laboratorium" empati yang luar biasa. Tanyakan, "Menurutmu, kenapa serigala itu jahat? Apa dia kesepian, ya?" Ajak mereka melihat dari sisi yang lain.
Saat amarah mulai naik, ajak ia untuk berhenti sejenak. "Yuk, kita tarik napas panjang sama-sama. Satu... dua... tiga... keluarkan pelan-pelan." Sambil berbisik, ajak ia beristighfar. Ini adalah P3K emosi yang sangat ampuh.
Ayah Bunda yang hebat,
Membentuk anak yang cerdas emosi dan penuh empati adalah perjalanan. Tidak ada yang instan. Akan ada hari-hari di mana kita berhasil, dan mungkin ada hari-hari di mana kita merasa gagal. Dan itu tidak apa-apa.
Di Al Lathif Islamic School, kami percaya bahwa tugas mulia ini adalah tanggung jawab kita bersama. Mari bergandengan tangan, saling mendukung, untuk tidak hanya melahirkan generasi yang cerdas akalnya, tetapi juga generasi Rabbani yang lapang hatinya, kokoh jiwanya, dan membawa kehangatan bagi dunia sekitarnya.
Mengembangkan Kecerdasan Anak Menuju Generasi Qur’ani Yang Berakhlak Mulia Dan Berwawasan Global Untuk Memenuhi Peran Mereka Sebagai Khalifah Di Muka Bumi.
> Read More