08.00 - 16.00
Senin - Jumat
Persahabatan seharusnya terasa seperti pulang ke rumah yang hangat. Tempat kita bisa menjadi diri sendiri, tertawa lepas, berbagi cerita, dan merasa diterima. Seharusnya, setelah bertemu sahabat, hati kita terasa lebih ringan, lebih bersemangat, lebih bahagia.
Namun, pernahkah anak kita—atau bahkan kita sendiri—mengalami hal sebaliknya? Setelah berjam-jam bersama seorang teman, kita justru merasa lelah secara emosional. Merasa kecil, cemas, serba salah, dan mempertanyakan nilai diri kita sendiri. Jika ya, mungkin kita tidak sedang berada dalam persahabatan yang sehat. Mungkin, tanpa sadar, kita sedang berinteraksi dengan sebuah 'racun' yang dibungkus dengan nama pertemanan.
Mengenali pertemanan beracun (toxic friendship) adalah langkah pertama untuk melindungi kesehatan mental dan spiritual anak kita. Mari kita belajar mengenali gejala-gejalanya.
Racun pertemanan seringkali tidak terlihat jelas. Ia bekerja secara perlahan, meresap sedikit demi sedikit hingga kita merasa "sakit" tanpa tahu apa penyebabnya. Berikut beberapa gejalanya:
1. Papan Skor yang Selalu Miring
Dalam hubungan ini, hanya ada satu bintang utama: dia. Percakapan selalu berpusat tentang masalahnya, ceritanya, dan kebutuhannya. Ia akan menelepon saat butuh, tapi seringkali menghilang saat kita yang memerlukan dukungan. Kita menjadi pendengar setia, pemberi solusi, tapi giliran kita bercerita, ia tampak tidak tertarik atau cepat-cepat mengalihkan pembicaraan.
2. Ahli Kritik Berkedok "Jujur Demi Kebaikanmu"
Ia sering melontarkan kritik pedas tentang penampilan, pilihan, atau bahkan keluarga kita, lalu membungkusnya dengan kalimat, "Aku kan cuma jujur, demi kebaikanmu lho." Kritik yang membangun itu ada, tapi jika kritik darinya lebih sering membuat kita merasa buruk daripada termotivasi, itu bukanlah kejujuran—itu adalah cara untuk membuat dirinya merasa lebih superior.
3. Sang Juara Kompetisi Terselubung
Saat kita berbagi kabar gembira—misalnya menang lomba atau dapat nilai bagus—reaksinya terasa hambar. Mungkin ada ucapan selamat yang singkat, tapi cepat disusul dengan ceritanya yang lebih hebat atau sebuah komentar yang seolah meremehkan pencapaian kita. Ia tidak bisa tulus ikut berbahagia karena ia melihat kita sebagai saingan, bukan kawan.
4. "Baperan Kamu!" si Tukang Insesitif
Saat kita mencoba mengungkapkan perasaan sakit hati karena ucapan atau tindakannya, ia justru membalikkan keadaan. "Ah, gitu aja baper!" atau "Kamu terlalu sensitif, deh." Perasaan kita dianggap tidak valid. Ini adalah bentuk gaslighting yang membuat kita ragu pada perasaan kita sendiri dan akhirnya memilih untuk diam dan memendamnya.
5. Roller Coaster Emosi yang Melelahkan
Hari ini ia bisa sangat baik dan manis, membuat kita merasa menjadi sahabat terbaik di dunia. Tapi besok, ia bisa berubah dingin, cuek, dan mengabaikan kita tanpa alasan yang jelas. Ketidakpastian ini membuat kita terus-menerus cemas dan berusaha keras untuk menyenangkannya, seolah berjalan di atas kulit telur.
Jika gejalanya begitu jelas, mengapa banyak anak (dan orang dewasa) tetap bertahan? Ini adalah pergulatan batin yang nyata dan sangat manusiawi.
Dalam hal ini, Rasulullah SAW memberikan sebuah perumpamaan yang luar biasa indah dan relevan untuk kita renungkan bersama anak kita. Beliau bersabda:
"Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi, atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu, dan kalaupun tidak engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap." (HR. Bukhari & Muslim)
Hadis ini mengajarkan kita sebuah kebenaran sederhana: pertemanan itu menular. Teman yang baik akan memberi kita "keharuman"—baik itu akhlaknya, ilmunya, atau sekadar ketenangan hatinya. Sementara teman yang buruk, sedikit atau banyak, pasti akan meninggalkan "bau tak sedap" pada diri kita—entah itu kegelisahan, pikiran negatif, atau akhlak yang ikut terkikis.
Menjaga jarak dari pertemanan yang beracun bukanlah tindakan kejam. Itu adalah tindakan menjaga diri, menjaga "pakaian" dan "keharuman" jiwa kita agar tidak rusak.
(Bersambung)
Menyadari bahwa kita berada dalam pertemanan beracun adalah separuh dari pertempuran. Separuh lainnya adalah mencari tahu apa yang harus dilakukan. Di Bagian 2, kita akan membahas langkah-langkah praktis untuk menyembuhkan diri: mulai dari cara memasang 'pagar' batas diri (boundaries) hingga kapan dan bagaimana kita harus berani melangkah pergi. Sampai jumpa!
Mengembangkan Kecerdasan Anak Menuju Generasi Qur’ani Yang Berakhlak Mulia Dan Berwawasan Global Untuk Memenuhi Peran Mereka Sebagai Khalifah Di Muka Bumi.
> Read More