08.00 - 16.00
Senin - Jumat
Misalkan hati dan pikiran kita adalah sebuah ponsel. Setiap teman yang kita miliki adalah sebuah sinyal "Wi-Fi". Ada teman yang sinyalnya kuat dan cepat; setiap kali terhubung dengannya, kita jadi semangat belajar, semangat beribadah, dan merasa optimis. Ada juga teman yang sinyalnya lemah dan sering error; setiap kali terhubung dengannya, "baterai" semangat kita malah terkuras, kita jadi ikut mengeluh, pesimis, dan malas-malasan.
Pertanyaannya, sinyal "Wi-Fi" mana yang paling sering kita gunakan setiap hari?
Memilih teman bukanlah tentang menjadi sosok yang pemilih, sombong, atau eksklusif. Ini adalah tentang sebuah kesadaran. Sebuah seni untuk merawat aset kita yang paling berharga yaitu diri kita sendiri, masa depan kita, dan yang terpenting, agama kita.
Kita mungkin merasa, "Ah, saya orangnya kuat kok, tidak akan terpengaruh." Tapi pengaruh teman seringkali bekerja seperti osmosis, meresap pelan-pelan tanpa kita sadari. Cara mereka berbicara, topik yang mereka anggap lucu, kebiasaan mereka menghabiskan waktu—semua itu secara halus akan menjadi bagian dari diri kita.
Karena itulah, Rasulullah SAW memberikan sebuah peringatan yang sangat indah dan tegas:
"Seseorang akan mencocoki kebiasaan teman karibnya. Oleh karena itu, perhatikanlah siapa yang akan menjadi teman karibnya." (HR. Abu Dawud & Tirmidzi)
Hadis ini adalah intinya. Memilih teman bukan urusan sepele, ini adalah penentu arah hidup. Beliau juga memberikan perumpamaan yang sangat gamblang tentang penjual minyak wangi dan pandai besi. Berteman dengan penjual minyak wangi, kita akan ikut wangi entah karena diberi atau sekadar terkena aromanya. Sebaliknya, berteman dengan pandai besi, kita bisa terkena percikan apinya atau paling tidak, mencium bau asapnya yang tidak sedap.
Temanmu adalah cerminan dirimu. Jika ingin tahu bagaimana dirimu di masa depan, lihatlah dengan siapa kamu paling sering menghabiskan waktu hari ini.
Lalu, seperti apa teman yang membawa aroma minyak wangi itu? Ini bukanlah tentang teman yang sempurna, karena tidak ada manusia yang sempurna. Ini tentang teman yang memiliki "arah" yang sama dengan kita, yaitu arah menuju kebaikan.
1. Dia Mengingatkanmu pada Kebaikan.
Teman sejati bukan hanya yang asyik diajak nongkrong, tapi yang berani berkata, "Eh, sudah adzan Dzuhur, shalat dulu yuk." Dia tidak akan nyaman jika melihatmu melakukan hal yang salah dan akan mengajakmu ke majelis ilmu, bukan hanya ke tempat hiburan semata.
2. Dia Adalah Penjaga Aibmu.
Di zaman ketika gosip dan membuka aib orang menjadi konten, teman yang shalih adalah sebuah harta karun. Dia adalah brankas tempat kamu menyimpan kerapuhanmu. Ceritamu aman bersamanya, tidak akan menjadi konsumsi publik keesokan harinya.
3. Dia Jujur, Meski Terkadang Pahit.
Dia bukan seorang penjilat yang selalu membenarkan semua tindakanmu. Dia adalah cerminmu. Saat kamu salah, ia akan menasihatimu dengan cara yang baik, secara pribadi, bukan mempermalukanmu di depan umum. Nasihatnya mungkin terasa pahit di awal, tapi itu adalah obat.
4. Dia Tulus Bahagia Atas Kebahagiaanmu.
Ciri sahabat sejati adalah ia tidak memiliki rasa iri atau dengki (hasad) di hatinya. Ia adalah orang pertama yang akan tersenyum tulus saat kamu berhasil meraih sesuatu. Ia adalah pemandu sorak terbesarmu, bukan pesaing dalam selimut.
Menemukan teman seperti ini memang tidak mudah, tapi sangat mungkin jika kita memulainya dengan benar.
Ini adalah langkah pertama dan utama. Jika kamu ingin teman yang rajin shalat, jujur, dan baik hati, maka jadilah pribadi seperti itu terlebih dahulu. Kebaikan akan menarik kebaikan lainnya. Jadilah "penjual minyak wangi", maka para pencari keharuman akan datang kepadamu.
Perluas pergaulanmu di tempat-tempat yang positif. Aktiflah di kegiatan rohis (rohani Islam) sekolah, organisasi OSIS yang amanah, kegiatan relawan, atau komunitas yang sesuai dengan hobimu yang positif. Peluang menemukan teman baik di perpustakaan atau masjid tentu lebih besar daripada di tempat yang penuh kelalaian.
Berani Menjaga Jarak dengan "Sinyal Buruk".
Ini mungkin bagian yang paling sulit. Bagaimana jika kita sudah terlanjur berada di lingkungan yang toksik? Bukan berarti kita harus memusuhi mereka. Tetaplah tunjukkan akhlak yang baik, namun mulailah secara sadar untuk mengurangi intensitas. Kurangi waktu bergaul yang tidak perlu, tolak ajakan yang mengarah pada keburukan dengan sopan, dan mulailah alokasikan waktumu lebih banyak dengan orang-orang atau kegiatan yang lebih positif. Ini bukan tindakan sombong, ini adalah tindakan penyelamatan diri.
Pada akhirnya, memilih teman adalah sebuah doa yang kita wujudkan dalam tindakan. Kita memohon kepada Allah untuk didekatkan dengan orang-orang shalih, lalu kita pun berusaha melangkahkan kaki kita ke tempat-tempat di mana mereka berada.
Karena sahabat sejati bukan hanya yang membuat dunia kita terasa lebih seru, tapi yang memegang tangan kita, mengetuk pintu surga, dan bertanya kepada Allah, "Di mana sahabatku? Dulu kami sering shalat dan berpuasa bersama." Semoga kita semua dikaruniai sahabat seperti itu.
Mengembangkan Kecerdasan Anak Menuju Generasi Qur’ani Yang Berakhlak Mulia Dan Berwawasan Global Untuk Memenuhi Peran Mereka Sebagai Khalifah Di Muka Bumi.
> Read More