08.00 - 16.00
Senin - Jumat
Dompet mulai menipis, badan pegal linu sisa perjalanan liburan.
Dan di kursi belakang mobil, atau di lobi hotel, terdengar suara rengekan anak:
"Bunda, bosen! Panas! Gak mau makan ini! Mana mainan barunya?"
Seketika emosi Anda meledak.
"Heh! Kamu ini kurang bersyukur ya! Ayah Bunda udah abis jutaan ajak kamu ke sini. Udah capek nyetir, bayar hotel mahal. Harusnya kamu seneng! Jangan bikin malu!"
Pernah mengalami ini?
Rasanya sakit hati, kan? Kita merasa sudah memberikan "Dunia" pada mereka, tapi mereka membalasnya dengan air mata dan keluhan.
Tapi tunggu dulu. Tarik napas.
Sebelum memvonis anak sebagai "Si Tukang Ngeluh", mari kita berkaca. Jangan-jangan, kitalah yang menciptakan monster kecil yang tidak pernah puas ini.
Ayah Bunda, sadarkah kita? Seringkali kitalah yang menaikkan standar kebahagiaan anak terlalu tinggi.
Dulu, main di taman komplek saja sudah bahagia.
Tapi kita, demi gengsi atau rasa bersalah (karena sibuk kerja), mulai menyuap mereka dengan kemewahan.
"Nanti liburan kita ke luar negeri ya!"
"Nanti Ayah belikan iPad baru!"
Kita mengajarkan otak mereka bahwa Bahagia = Barang Mahal/Tempat Mewah.
Ini namanya Hedonic Treadmill. Begitu mereka dapat yang mahal, mereka akan bosan, dan butuh yang LEBIH mahal lagi untuk merasa senang.
Jadi saat mereka mengeluh kepanasan di tempat wisata, itu bukan karena mereka jahat. Itu karena otak mereka sudah terbiasa distimulasi dengan kenyamanan berlebih. Mereka kehilangan kemampuan untuk Menikmati Kesederhanaan.
Jujur-jujuran saja.
Apakah liburan akhir tahun ini murni untuk bonding keluarga, atau untuk menebus dosa karena setahun ini kita sibuk dan mengabaikan mereka?
Anak bisa merasakannya.
Jika liburan ini sifatnya transaksional ("Ayah udah ajak liburan, jadi kamu jangan rewel dong!"), anak akan merasa terbebani.
Mereka butuh kehadiran Ayah Bundanya yang utuh, yang mau main pasir bareng, yang mau dengerin celoteh mereka. Bukan Ayah Bunda yang sibuk foto-foto buat Instagram lalu marah-marah kalau anaknya susah diatur buat pose.
Seringkali, anak rewel itu kode keras: "Aku gak butuh hotel mahalnya, aku butuh Bunda meluk aku tanpa main HP!"
Membentak "Bersyukur dong!" tidak akan membuat anak jadi bersyukur. Itu cuma bikin mereka takut.
Syukur (Qana'ah) itu skill yang harus dilatih, bukan diinstruksikan.
Bagaimana mau bersyukur kalau setiap keinginan mereka selalu dikabulkan instan?
Cara "Reset" Mental Anak di Sisa Liburan Ini:
Biarkan Mereka Bosan & Kecewa
Kalau mereka minta mainan lagi, tolak. "Maaf, jatah jajan sudah habis."
Biarkan mereka menangis. Rasa kecewa itu sehat! Itu mengajarkan bahwa tidak semua di dunia ini bisa mereka miliki.
Validasi, Jangan Dimarahi
Saat mereka ngeluh panas, jangan dibantah.
Salah: "Ah lebay, gini doang panas."
Benar: "Iya ya Kak, panas banget matahari Allah hari ini. Kita sabar sebentar ya, nanti kita cari es kelapa muda biar adem." (Ini mengajarkan empati + solusi).
Ajak Lihat ke Bawah
Sepulang liburan, ajak mereka melihat anak jalanan atau panti asuhan.
"Lihat Kak, mereka tidurnya gak pakai AC lho. Alhamdulillah ya kita kemarin bisa tidur di kasur empuk."
Syukur tumbuh dari melihat ke bawah, bukan melihat ke atas (sosmed).
Liburan tinggal beberapa hari lagi.
Stop paksa anak untuk selalu tampil "Happy" demi konten sosmed Ayah Bunda.
Turunkan ekspektasi.
Makan mie rebus di rumah sambil ketawa-ketiwi bareng keluarga itu jauh lebih berharga daripada liburan mewah tapi isinya bentak-bentakan.
Maafkan anak yang rewel. Maafkan diri kita yang lelah.
Mari tutup tahun ini dengan pelukan tulus, bukan dengan omelan tentang uang yang sudah keluar.
Mengembangkan Kecerdasan Anak Menuju Generasi Qur’ani Yang Berakhlak Mulia Dan Berwawasan Global Untuk Memenuhi Peran Mereka Sebagai Khalifah Di Muka Bumi.
> Read More