08.00 - 16.00
Senin - Jumat
Sebentar lagi, timeline media sosial akan penuh dengan kembang api. Jalanan macet. Suara terompet bersahut-sahutan.
Orang-orang—yang mayoritas KTP-nya Islam—berbondong-bondong keluar rumah, begadang sampai jam 12 malam hanya untuk berteriak: "Happy New Year!"
Mari kita berhenti sejenak dan pakai akal sehat kita.
Sebenarnya, apa yang sedang kita rayakan?
Apakah kita sedang merayakan prestasi? Bukan.
Apakah kita sedang merayakan kemenangan Islam? Jelas bukan.
Sadar atau tidak, saat jarum jam menyentuh angka 12, kita sedang merayakan berkurangnya jatah umur kita di dunia. Kita sedang bersorak gembira karena langkah kita menuju lubang kubur semakin dekat.
Aneh, kan? Jatah hidup berkurang kok pesta pora? Harusnya kita menangis dan gemetar: "Ya Allah, sisa umurku tinggal sedikit, tapi dosaku masih gunung."
Rasulullah SAW sudah memprediksi fenomena ini 1400 tahun lalu. Beliau khawatir umatnya terkena penyakit Imma'ah alias Latah/Ikut-ikutan.
"Sungguh, kalian benar-benar akan mengikuti kebiasaan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal... hingga seandainya mereka masuk ke lubang biawak pun, niscaya kalian akan mengikutinya." (HR. Bukhari & Muslim).
Coba tanya anak-anak yang tiup terompet itu:
"Tahu gak sejarah Tahun Baru? Tahu gak siapa Dewa Janus (Januari) itu? Tahu gak kenapa harus tiup terompet (budaya Yahudi) atau lonceng (Nasrani)?"
Pasti jawabannya: "Gak tahu, yang penting asik!"
Inilah musibah terbesar. Kita membiarkan anak cucu kita membebek pada budaya kaum lain (Tasyabbuh). Padahal Nabi tegas berkata: "Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka." (HR. Abu Daud).
Apakah kita rela anak kita dicatat malaikat sebagai "Golongan Pengekor" hanya gara-gara semalam suntuk hura-hura?
Coba lihat fakta di lapangan saat malam tahun baru.
Ikhtilat (campur baur laki-perempuan), mabuk-mabukan, zina, kebut-kebutan, dan menghamburkan uang (Tabdzir) untuk kembang api yang meledak 5 detik lalu jadi sampah.
Setan berpesta pora malam itu.
Dan kita? Apakah kita mau ikut meramaikan pesta setan itu?
Seorang Muslim yang cerdas punya sikap berbeda.
Dia tidak akan keluar rumah. Dia akan mematikan lampu, menyuruh anak-anaknya tidur lebih awal (Ba'da Isya).
Kenapa?
Agar nanti di sepertiga malam terakhir (jam 3 pagi), saat para pemuja tahun baru sedang teler atau tidur nyenyak karena kelelahan begadang...
Kita bangun untuk Shalat Tahajjud.
Disitulah kita "merayakan" pergantian waktu dengan cara yang elegan. Kita memohon ampunan di saat orang lain lalai. Itulah Winning Mentality seorang Mukmin.
Nah, ini dia kalimat "pembenaran" yang paling sering terdengar.
"Kita gak minum alkohol kok, gak zina, cuma bakar ikan di vila sama keluarga. Masa silaturahmi dilarang?"
Ayah Bunda, tolong dengarkan baik-baik. Ini adalah Jebakan Setan yang Paling Halus.
Setan itu pintar. Dia tahu orang Islam yang taat tidak akan mau diajak mabuk. Maka diajaklah dengan cara yang terlihat "halal": Kumpul keluarga, makan-makan, begadang nunggu jam 12.
Masalahnya bukan di jagung atau ikannya (itu halal). Masalahnya ada pada MOMENTUM dan PENGAKUAN.
Kenapa Harus Malam Itu?
Dalam setahun ada 365 malam. Kenapa Anda memilih khusus malam 31 Desember untuk begadang dan kumpul spesial?
Jawabannya jujur saja: Karena Anda ingin ikut merayakan pergantian tahun, kan?
Itulah letak Tasyabbuh-nya (menyerupai kaum lain). Anda mengistimewakan waktu yang diagungkan oleh kaum kafir, padahal dalam Islam malam itu tidak ada bedanya dengan malam Rabu atau Kamis lainnya.
Anda Sedang Memperbanyak Jumlah Mereka (As-Sawad)
Saat Anda memadati tempat wisata, hotel, atau jalanan di malam tahun baru, Anda menyumbang keramaian. Anda menjadi bagian dari euforia itu.
Anak Anda melihat kembang api, melihat keramaian, dan di alam bawah sadarnya tertanam: "Oh, merayakan tahun baru itu boleh ya, seru ya."
Anda sedang menormalisasi budaya non-Islam di mata anak-anak Anda sendiri!
Niat yang "Ditunggangi"
Silaturahmi itu ibadah mulia. Tapi kalau silaturahmi diniatkan untuk meramaikan hari raya non-muslim, maka niat itu jadi ternoda.
Ibaratnya: Anda ikut duduk-duduk di acara perayaan agama lain sambil makan kue, lalu bilang "Saya cuma nemenin makan kok, gak ikut ibadah."
Tetap saja, kehadiran Anda di sana adalah bentuk dukungan/persetujuan secara tidak langsung.
Solusinya? Geser Waktunya!
Kalau memang niatnya tulus ingin kumpul keluarga (mumpung libur), jangan pas malam tahun barunya.
Lakukan di pagi harinya (tanggal 1 Januari) atau hari lain.
Atau kalau memang sedang liburan di vila, TIDURLAH. Jangan keluar saat jam 12 malam. Jangan ikut countdown.
Tunjukkan pada anak: "Nak, di luar sana orang-orang sedang lalai. Kita tidur ya, biar besok Subuh kita bangun paling awal saat mereka masih teler."
Itu baru namanya punya prinsip! Jangan jadikan "kumpul keluarga" sebagai topeng untuk menutupi rasa latah kita.
Islam tidak melarang kita mengetahui waktu. Tapi Islam mengajarkan kita untuk mengisi waktu dengan Muhasabah (Evaluasi Diri).
Daripada sibuk beli arang buat bakar jagung, lebih baik ambil kertas dan pulpen. Ajak anak istri duduk melingkar (sebelum tidur), lalu buat "Laporan Pertanggungjawaban Tahunan" kepada Allah:
Nangislah di situ. Sesali dosa tahun lalu.
Lalu buat Resolusi Akhirat: "Tahun depan, saya targetkan hafal Juz 30. Saya targetkan tidak ghibah lagi."
Itu baru keren! Itu baru berkelas!
Mungkin tetangga akan bilang kita "Gak asik", "Kampungan", atau "Alim banget".
Biarkan saja.
Rasulullah bersabda: "Islam datang dalam keadaan asing, dan akan kembali asing. Maka beruntunglah orang-orang yang asing (Ghuraba)."
Jadilah asing karena memegang prinsip.
Biarkan orang lain sibuk meniup terompet kelalaian, kita sibuk mengetuk pintu langit dengan doa.
Selamatkan akidah keluarga kita malam ini. Tutup pintu, buka Al-Qur'an.
Ingin anak Anda memiliki identitas Islam yang kokoh dan tidak mudah terbawa arus budaya luar?
Di Al Lathif Islamic School, kami menanamkan kurikulum Aqidah dan Tsaqofah Islamiyah yang kuat. Kami mendidik siswa untuk bangga menjadi Muslim (Izzah) sehingga mereka berani tampil beda dan memimpin, bukan sekadar menjadi follower budaya yang tidak jelas.
Mengembangkan Kecerdasan Anak Menuju Generasi Qur’ani Yang Berakhlak Mulia Dan Berwawasan Global Untuk Memenuhi Peran Mereka Sebagai Khalifah Di Muka Bumi.
> Read More