08.00 - 16.00
Senin - Jumat
Pernah nggak sih, rasanya baru 5 menit yang lalu kita berjanji dalam hati, "Hari ini aku nggak mau marah-marah. Aku mau jadi orang tua yang sabar."
Tapi kemudian... segelas susu tumpah di atas karpet yang baru dicuci. Atau adik memukul kakak. Atau mainan berantakan lagi padahal baru saja dibereskan.
Dan BOOM!
Pertahanan itu runtuh. Suara kita meninggi. Kalimat-kalimat tajam meluncur tanpa rem. Kita berubah menjadi sosok yang menakutkan bagi makhluk kecil di depan kita.
Lalu hening.
Saat melihat mata mereka yang berkaca-kaca, atau tubuh kecil yang menciut ketakutan, rasa itu datang: Penyesalan.
Dada sesak. "Ya Allah, kenapa aku kasar banget tadi? Padahal mereka cuma anak-anak."
Jika Anda sedang merasakan ini, tarik napas dalam-dalam. Anda tidak sendirian. Dan yang paling penting: Ini bukan tanda Anda orang tua gagal. Ini tanda Anda manusia biasa yang baterai emosinya sedang 'low-batt'.
Secara sains, saat emosi mengambil alih, bagian otak rasional kita (Prefrontal Cortex) "dibajak" oleh bagian otak emosi (Amigdala).
Saat kita lelah, lapar, atau stres karena pekerjaan/urusan rumah tangga, sumbu sabar kita memendek. Tumpahan susu itu bukan sekadar tumpahan susu; bagi otak kita yang lelah, itu adalah "serangan" yang memicu mode fight or flight. Akibatnya? Kita menyerang (teriak).
Tapi, Islam mengajarkan kita konsep yang indah: Muhasabah dan Perbaikan.
Rasulullah SAW tidak pernah memukul anak atau wanita. Beliau adalah teladan kelembutan. Namun, beliau juga paham tabiat manusia bisa marah. Maka, solusinya bukan memendam rasa bersalah terus-menerus, melainkan melakukan perbaikan (Repair).
Nasi sudah menjadi bubur. Teriakan sudah terlanjur keluar. Lalu harus bagaimana? Jangan biarkan rasa bersalah membusuk dan membuat Anda justru menarik diri dari anak. Lakukan ini:
1. Turunkan Ego, Akui Kesalahan
Banyak orang tua gengsi minta maaf ke anak. Takut wibawanya jatuh. Padahal, dalam Islam, mengakui kesalahan adalah ciri ksatria.
Dekati anak (sejajarkan mata), dan katakan:
"Kak/Dek, maafin Bunda/Ayah ya. Tadi Bunda marah dan teriak. Bunda salah. Harusnya Bunda bicara baik-baik, bukan ngebentak."
Kalimat ini mengajarkan anak satu hal penting: Bahwa orang dewasa pun bisa salah, dan orang hebat adalah mereka yang berani minta maaf.
2. Validasi Perasaan Mereka
Setelah minta maaf, validasi rasa takut mereka.
"Kamu kaget ya tadi? Kamu takut ya?"
Biarkan mereka mengangguk atau menangis. Peluk mereka. Pelukan selama 20 detik bisa melepaskan hormon oksitosin yang meredakan stres—baik bagi anak, maupun bagi Anda. Ini adalah cara "mendinginkan" hati yang panas.
3. Buat Kesepakatan Ulang (Tanpa Ceramah Panjang)
Jangan langsung menasihati saat anak masih menangis atau saat Anda masih gemetar sisa emosi. Tunggu tenang.
Baru setelah itu, sampaikan dengan Izzah (lembut tapi tegas):
"Susu tumpah itu bisa dibersihkan. Tapi lain kali hati-hati ya, Nak. Kalau tumpah, ambil lap, bukan lari."
Ayah Bunda, ingatlah satu hal ini:
Anak-anak tidak butuh orang tua yang sempurna. Mereka butuh orang tua yang "nyata". Orang tua yang terus belajar memperbaiki diri.
Setiap kali kita berhasil menahan lisan dari amarah, itu adalah pahala jihad melawan hawa nafsu. Tapi setiap kali kita gagal dan memilih untuk meminta maaf, itu adalah kurikulum nyata tentang kerendahan hati bagi anak-anak kita.
Jadi, hapus air mata itu. Basuh muka, ambil wudhu jika perlu.
Temui anak Anda sekarang. Peluk mereka.
Katakan Anda menyayangi mereka, karena Allah.
Perjalanan menjadi orang tua adalah lari maraton, bukan lari cepat. Masih ada hari esok untuk mencoba lebih sabar lagi.
Semangat ya, Ayah Bunda!
Mengembangkan Kecerdasan Anak Menuju Generasi Qur’ani Yang Berakhlak Mulia Dan Berwawasan Global Untuk Memenuhi Peran Mereka Sebagai Khalifah Di Muka Bumi.
> Read More